Oleh: Marjuki
Pada artikel sebelumnya membahas guru merancang pembelajaran belum melakukan asesmen awal. Akibat dari tidak melakukan asesmen awal, antara lain; guru tidak tahu kebutuhan murid, dan tidak tahu cara memenuhi kebutuhan murid. Apa yang terjadi? Guru ujug-ujug merancang pembelajaran tanpa tahu kebutuhan murid.
Terkait hal di atas, bisa jadi guru sudah merasa luar biasa di kelas. Murid dibuat sibuk kegiatan. Banyak mengerjakan soal. Tugasnya bertubi-tubi. Guru menjelaskan dengan baik. Murid bisa duduk diam tumaknina saat guru menjelaskan. Guru merasa semua informasi sudah disampaikan, tidak ada yang tersisa. Semuanya diberikan dengan ikhlas, tanpa pamrih untuk murid sendiri.
Sekalipun guru merasa telah memberikan semua ilmunya. Murid-murid berhasil dibuat sibuk. Murid-murid tidak sempat bermain. Tidak ada hari tanpa tugas. Akan tetapi sejatinya apa yang dilakukan masih belum memenuhi kebutuhan murid. Murid memiliki bakat, minat, gaya belajar, hobby, kesukaan, kesulitan, kesiapan belajar berbeda-beda tidak di ketahui dan tidak tahu cara memenuhinya. Hal ini terjadi karena tidak punya data profil murid.
Miskonsepsi kedua, mengelompokkan murid di kelas berdasarkan gaya belajar, minat, bakat, kecepatan belajar, dll. Dapat dibayangkan jika di dalam kelas terdapat ada 20 keberagaman, maka konsekuensinya ada 20 cara, strategi, metode pembelajaran. Jika hal ini terjadi dapat dipastikan betapa semrawutnya pembelajaran. Mengingat guru bukanlah malaikat bersayap yang bisa terbang ke sana kemari dalam waktu bersamaan. Dalam gurauan orang Surabaya, “ledeh tun”.
Gaya belajar digunakan untuk pengelompokan. Apalagi kalau murid tahu dan diberi tahu kalau mereka termasuk kelompok; Audio, Visual, Kenestetika, Audiovisual, dst. Hal ini tidaklah bagus jika kelompoknya selalu demikian. Bisa jadi murid menjadi malu dan minder jika mereka tahu dalam kategori kelompok tersebut. Selain murid malu, minder juga merasa dibuli oleh gurunya sendiri. Terutama kelompok kinestika. Kelompok kinestetika dianggap mereka yang sering membuat onar, gaduh, kisruh, dsb.
Pengelompokan ini penting dalam pembelajaran untuk melatih kolaboratif, koperatif, gotong royong, menghargai, menghormati, mengakomodasi aspirasi orang lain, dan sabar dalam bekerja sama. Oleh karena itu perlu pengelompokan. Celakanya pengelompokan ini dibuat permanen. Akibatnya murid bisa kerja sama jika dan hanya jika dengan kelompoknya sendiri. Dikawatirkan jika dilakukan permanen bisa membentuk geng (semoga tidak).
Pengelompokan permanen kita hindari. Pengelompokan bukan sekedar berkelompok, akan tetapi dalam rangka memudahkan memberikan layanan. Pengelompokan bukan dimaknai agar nurid lebih mudah dikendalikan sehingga pembelajaran terkendali. Pemberian layanan agar murid berkembang secara maksimal, baik di kelas intrakurikuler maupun di luar intrakurikuler.
Dasar pengelompokan yang tepat mengikuti model pembelajaran. Setiap model pembelajaran memiliki empat ciri khusus menurut Richard Arends (1997); 1) memiliki tujuan, 2) memiliki sintaks, 3) memiliki lingkungan belajar (termasuk pengelompokan), dan 4) pengelolaan keseluruhan. Ada model yang mensyaratkan kelompoknya homogen dan ada yang heterogen. Jadi jika mau mengelompokan murid perhatikan model apa yang digunakan.
Sayangnya tidak sedikit yang sudah melupakan pendekatan, model, strategi, metode, teknik pembelajaran. Dapat dibayangkan bagaimana cara membelajarkan muridnya. Dikawatirkan model yang digunakan adalah model ngawurisasi. Tanpa model yang jelas, yang penting bisa datang mengajar. Yang paling miris adalah saat masuk kelas pembelajaran, lupa dengan materinya. Setiap memulai mengajar selalu bertanya kepada murid yang duduk paling depan, “kemarin materinya sampai dimana ya? Jika materinya saja lupa, terus bagaimana dengan kompetensi yang akan dilatihkan?
Dalam kondisi seperti ini seyogya Perguruan Tinggi (PT) harus hadir membersamai para guru di sekolah sekitarnya. Sebagai tanggung akademis dan pengabdian masyarakat. Sayangnya masih belum tergerak, bergerak, dan berdampak. Tidak sedikit perguruan tinggi masih terjerat budaya menunggu dan menunggu. Terkadang sibuk dengan diri sendiri. Tidak salah jika seperti menara gading.
Semoga terinspirasi dan makin penanasaran lajutannya.
To be continued
Gresik, 24 Januari 2024